- "Pagaruyung" beralih ke halaman ini. Untuk nagari dengan nama yang sama, lihat Pagaruyung, Tanjung Emas, Tanah Datar.
Pagaruyung adalah kerajaan yang pernah berdiri di Sumatera, wilayahnya terdapat di dalam provinsi
Sumatera Barat sekarang. Nama kerajaan ini dirujuk dari nama pohon
Nibung atau Ruyung,
[1] selain itu juga dapat dirujuk dari inskripsi cap mohor
Sultan Tangkal Alam Bagagar dari Pagaruyung,
[2] yaitu pada tulisan beraksara
Jawi dalam lingkaran bagian dalam yang berbunyi sebagai berikut:
Sultan Tangkal Alam Bagagar ibnu Sultan Khalīfatullāh yang mempunyai tahta kerajaan dalam negeriPagaruyung Dārul Qarār Johan Berdaulat Zillullāh fīl 'Ālam.
[3] sayangnya pada cap mohor tersebut tidak tertulis angka tahun masa pemerintahannya. Kerajaan ini runtuh pada masa
Perang Padri, setelah ditandatanganinya perjanjian antara
Kaum Adatdengan pihak Belanda yang menjadikan kawasan Kerajaan Pagaruyung berada dalam pengawasan Belanda.
[4]
Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam
Malayapura,
[5] sebuah kerajaan yang pada
Prasasti Amoghapasa disebutkan dipimpin oleh
Adityawarman, yang mengukuhkan dirinya sebagai penguasa
Bhumi Malayu di
Suwarnabhumi. Termasuk pula di dalam Malayapura adalah kerajaan
Dharmasraya dan beberapa kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.
[6]
Munculnya nama
Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan
Melayu tidak dapat diketahui dengan pasti, dari
Tambo yang diterima oleh masyarakat
Minangkabau tidak ada yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan, bahkan jika menganggap
Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya menjadi
Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran dari
Prasasti Batusangkar.
Dari
manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang
Arca Amoghapasa[7]disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di
Malayapura, Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada
Prasasti Kuburajo dan anak dari
Dara Jingga, putri dari kerajaan
Dharmasraya seperti yang disebut dalam
Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih
Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang,
[8] pada masa pemerintahannya kemungkinan Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.
Dari
prasasti Suruaso yang beraksara
Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi
taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi[9] yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu
Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan
adat Minangkabau, pewarisan dari
mamak (paman) kepada
kamanakan(kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut.
[10] Sementara pada sisi lain dari saluran irigasi tersebut terdapat juga sebuah prasasti yang beraksara
Nagari atau
Tamil, sehingga dapat menunjukan adanya sekelompok masyarakat dari selatan
India dalam jumlah yang signifikan pada kawasan tersebut.
[9]
Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, dan bertahta sebagai raja bawahan (
uparaja) dari
Majapahit.
[11] Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yang menyebut sesuatu hal yang berkaitan dengan
bhumi jawa dan kemudian dari berita
Cina diketahui Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke
Cina sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377.
[10]
Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409.
[11] Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah
Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara
Jawaberhasil dikalahkan.
Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam
konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai
Nagari dan
Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (
Suku Minang).
Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera bagian tengah telah muncul kira-kira pada abad ke-13,
[12] yaitu dimulai pada masa pengiriman
Ekspedisi Pamalayu oleh
Kertanagara, dan kemudian pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya
Ananggawarman. Kekuasaan dari Adityawarman diperkirakan cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera bagian tengah dan sekitarnya.
[6] Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar
Maharajadiraja yang disandang oleh Adityawarman seperti yang terpahat pada bahagian belakang
Arca Amoghapasa, yang ditemukan di hulu sungai
Batang Hari (sekarang termasuk kawasan
Kabupaten Dharmasraya).
Dari
prasasti Batusangkar disebutkan Ananggawarman sebagai
yuvaraja melakukan ritual ajaran Tantris dari
agama Buddha yang disebut
hevajra yaitu upacara peralihan kekuasaan dari Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun 1377 tentang adanya utusan
San-fo-ts'i kepada
Kaisar Cina yang meminta permohonan pengakuan sebagai penguasa pada kawasan
San-fo-ts'i.
[13]
Beberapa kawasan pedalaman Sumatera tengah sampai sekarang masih dijumpai pengaruhi agama Buddha antara lain kawasan percandian
Padangroco, kawasan percandian
Padanglawas dan kawasan percandian
Muara Takus. Kemungkinan kawasan tersebut termasuk kawasan taklukan Adityawarman.
[11] Sedangkan tercatat penganut taat ajaran ini selain Adityawarman pada masa sebelumnnya adalah
Kubilai Khan dari
Mongol dan raja
Kertanegara dari
Singhasari.
[14]
Perkembangan agama
Islam setelah akhir abad ke-14 sedikit banyaknya memberi pengaruh terutama yang berkaitan dengan sistem patrialineal, dan memberikan fenomena yang relatif baru pada masyarakat di pedalaman Minangkabau. Pada awal abad ke-16,
Suma Oriental yang ditulis antara tahun 1513 dan 1515, mencatat dari ketiga raja Minangkabau, hanya satu yang telah menjadi
muslim sejak 15 tahun sebelumnya.
[15]
Pengaruh
Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh
Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh
Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama
Sultan Alif.
[16]
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang terkenal:
"Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada
Al-Qur'an. Namun dalam beberapa hal masih ada beberapa sistem dan cara-cara adat masih dipertahankan dan inilah yang mendorong pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama
Perang Padri yang pada awalnya antara
Kaum Padri (ulama) dengan
Kaum Adat, sebelum Belanda melibatkan diri dalam peperangan ini.
[17]
Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti
Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berhubungan dengan Islam. Penamaan negari
Sumpur Kudus yang mengandung kata
kudus yang berasal dari kata
Quduus (suci) sebagai tempat kedudukan
Rajo Ibadat dan
Limo Kaum yang mengandung kata
qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam. Selain itu dalam perangkat
adat juga muncul istilah
Imam,
Katik (Khatib),
Bila(Bilal),
Malin (Mu'alim) yang merupakan pengganti dari istilah-istilah yang berbau
Hindu dan
Buddha yang dipakai sebelumnya misalnya istilah
Pandito (pendeta).
"Terdapat keselarasan yang mengagumkan dalam corak penulisan, bukan saja dalam buku
prosa dan
puisi, tetapi juga dalam perutusan
surat, dan pengalaman saya sendiri telah membuktikan kepada saya bahwa tidak ada masalah dalam menterjemahkan surat daripada raja-raja dari kepulauan
Maluku, maupun menterjemahkan surat daripada raja
Kedah dan
Terengganu di
Semenanjung Malaya atau dari
Minangkabau di
Sumatera".
Pada awal abad ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan
Kesultanan Aceh,
[18] dan mengakui para gubernur Aceh yang ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat Sumatera. Namun sekitar tahun 1665, masyarakat Minang di pesisir pantai barat bangkit dan memberontak terhadap gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yang menyebut dirinya
Raja Pagaruyung mengajukan permohonan kepada VOC, dan VOC waktu itu mengambil kesempatan sekaligus untuk menghentikan monopoli Aceh atas emas dan lada.
[19] Selanjutnya VOC melalui seorang
regentnya di Padang,
Jacob Pits yang daerah kekuasaannya meliputi dari Kotawan di selatan sampai ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668 ditujukan kepada
Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, Penguasa Minangkabau yang kaya akan emas serta memberitahukan bahwa VOC telah menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan emas dapat dialirkan kembali pada pesisir pantai.
[20] Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah meninggal dunia tahun 1674
[21] dan digantikan oleh anaknya yang bernama
Sultan Indermasyah.
[22]
Ketika
VOC berhasil mengusir
Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat tahun 1666,
[2] melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara daerah-daerah rantau dan pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung merupakan salah satu pusat perdagangan di pulau Sumatera, disebabkan adanya produksi
emas di sana. Demikianlah hal tersebut menarik perhatian
Belanda dan
Inggris untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.
[23]
Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tidak menyukai keberadaan VOC di
Padang dan pernah berusaha membujuk Inggris yang berada di
Bengkulu, bersekutu untuk mengusir Belanda walaupun tidak ditanggapi oleh pihak Inggris.
[24] Namun pada tahun 1781 Inggris berhasil menguasai Padang untuk sementara waktu,
[25] dan waktu itu datang utusan dari Pagaruyung memberikan ucapan selamat atas keberhasilan Inggris mengusir Belanda dari Padang.
[26] Menurut Marsden tanah Minangkabau sejak lama dianggap terkaya dengan emas, dan waktu itu kekuasaan raja Minangkabau disebutnya sudah terbagi atas
raja Suruaso dan
raja Sungai Tarab dengan kekuasaan yang sama.
[26]Sebelumnya pada tahun 1732,
regent VOC di Padang telah mencatat bahwa ada seorang
ratu bernama
Yang Dipertuan Puti Jamilan telah mengirimkan tombak dan pedang berbahan emas, sebagai tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa
bumi emas.
[27] Walaupun kemudian setelah pihak Belanda maupun Inggris berhasil mencapai kawasan pedalaman Minangkabau, namun mereka belum pernah menemukan cadangan emas yang signifikan dari kawasan tersebut.
[28]
Sebagai akibat konflik antara Inggris dan
Perancis dalam
Perang Napoleon di mana Belanda ada di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda dan kembali berhasil menguasai pantai barat Sumatera Barat antara tahun 1795 sampai dengan tahun 1819.
Thomas Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yang sudah mulai dilanda peperangan antara kaum Padri dan kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibu kota kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan yang terjadi.
[29] Setelah terjadi perdamaian antara Inggris dan Belanda pada tahun 1814, maka Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera dan Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya
Traktat London pada tahun 1824 dengan Inggris.
"Dari reruntuhan kota (Pagaruyung) ini menjadi bukti bahwa di sini pernah berdiri sebuah peradaban Melayu yang luar biasa, menyaingi Jawa, situs dari banyak bangunan kini tidak ada lagi, hancur karena perang yang masih berlangsung".
Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh
Aceh, sedangkan
Inderapura di
pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung.
Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara
Kaum Padri dan
Kaum Adat. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815.
Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke
Lubuk Jambi.
[30][31]
Karena terdesak oleh Kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada
Belanda, dan sebelumnya mereka telah melakukan diplomasi dengan
Inggris sewaktu Raffles mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan bantuan kepada mereka.
[2] Pada tanggal
10 Februari 1821[4] Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yang berada di
Padang,
[21] beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerja sama dalam melawan Kaum Padri. Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung.
[2] Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda.
[17] Kemudian setelah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari Kaum Padri, pada tahun 1824 atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Muningsyah kembali ke Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah, raja terakhir di Minangkabau ini, wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.
[21]

Pasukan Belanda dan
Padri saling berhadapan di medan perang. Lukisan sekitar tahun 1900.
Sementara Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah pada sisi lain ingin diakui sebagai
Raja Pagaruyung, namun pemerintah
Hindia Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya dan hanya mengangkatnya sebagai
Regent Tanah Datar.
[21] Kemungkinan karena kebijakan tersebut menimbulkan dorongan pada Sultan Tangkal Alam Bagagar untuk mulai memikirkan bagaimana mengusir Belanda dari negerinya.
[2]
Setelah menyelesaikan
Perang Diponegoro di
Jawa, Belanda kemudian berusaha menaklukkan Kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa,
Madura,
Bugis dan
Ambon.
[32] Namun ambisi kolonial Belanda tampaknya membuat kaum adat dan Kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka dan bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal
2 Mei 1833 Sultan Tangkal Alam Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel
Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Ia dibuang ke Batavia (
Jakarta sekarang) sampai akhir hayatnya, dan dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.
[33]
Setelah kejatuhannya, pengaruh dan prestise kerajaan Pagaruyung tetap tinggi terutama pada kalangan masyarakat Minangkabau yang berada di rantau. Salah satu ahli waris kerajaan Pagaruyung diundang untuk menjadi penguasa di Kuantan.
[34] Begitu juga sewaktu Raffles masih bertugas di Semenanjung Malaya, dia berjumpa dengan kerabat Pagaruyung yang berada di
Negeri Sembilan, dan Raffles bermaksud mengangkat Yang Dipertuan Ali Alamsyah yang dianggapnya masih keturunan langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan
Inggris.
[2]Sementara setelah berakhirnya
Perang Padri,
Tuan Gadang di
Batipuh meminta pemerintah Hindia Belanda untuk memberikan kedudukan yang lebih tinggi daripada sekadar
Regent Tanah Datar yang dipegangnya setelah menggantikan Sultan Tangkal Alam Bagagar, namun permintaan ini ditolak oleh Belanda,
[35] hal ini nantinya termasuk salah satu pendorong pecahnya
pemberontakan tahun 1841 di
Batipuh selain masalah
cultuurstelsel.
[21]
Menurut
Tomé Pires dalam
Suma Oriental,
[15] tanah Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman Sumatera tempat di mana rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai timur
Arcat (antara Aru dan Rokan) ke
Jambi dan kota-kota pelabuhan pantai barat
Panchur (Barus), Tiku dan
Pariaman. Dari catatan tersebut juga dinyatakan tanah Indragiri,
Siakdan Arcat merupakan bagian dari tanah Minangkabau, dengan
Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau tersebut. Namun belakangan daerah-daerah rantau seperti Siak, Kampar dan Indragiri kemudian lepas dan ditaklukkan oleh
Kesultanan Malaka dan
Kesultanan Aceh.
[36]
Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung adalah wilayah tempat hidup, tumbuh, dan berkembangnya kebudayaan Minangkabau. Wilayah ini dapat dilacak dari pernyataan
Tambo (legenda adat) berbahasa Minang ini:
[37]
- Dari Sikilang Aia Bangih
- Hingga Taratak Aia Hitam
- Dari Durian Ditakuak Rajo
- Hingga Sialang Balantak Basi
Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah
Pasaman Barat, berbatasan dengan
Natal,
Sumatera Utara.
Taratak Aia Hitam adalah daerah
Bengkulu.
Durian Ditakuak Rajo adalah wilayah di
Kabupaten Bungo,
Jambi. Yang terakhir,
Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau Barangin,
Kabupaten Kampar,
Riau sekarang. Secara lengkapnya, di dalam tambo dinyatakan bahwa
Alam Minangkabau (wilayah Kerajaan Pagaruyung) adalah sebagai berikut:
- Nan salilik Gunuang Marapi
- Saedaran Gunuang Pasaman
- Sajajaran Sago jo Singgalang
- Saputaran Talang jo Kurinci
- Dari Sirangkak nan Badangkang
- Hinggo Buayo Putiah Daguak
- Sampai ka Pintu Rajo Hilia
- Hinggo Durian Ditakuak Rajo
- Sipisau-pisau Hanyuik
- Sialang Balantak Basi
- Hinggo Aia Babaliak Mudiak
- Sailiran Batang Bangkaweh
- Sampai ka ombak nan badabua
- Sailiran Batang Sikilang
- Hinggo lauik nan sadidieh
- Ka timua Ranah Aia Bangih
- Rao jo Mapek Tunggua
- Gunuang Mahalintang
- Pasisia Banda Sapuluah
- Taratak Aia Hitam
- Sampai ka Tanjuang Simalidu
- Pucuak Jambi Sambilan Lurah
|
- Daerah Luhak Nan Tigo
- Daerah di sekeliling Gunung Pasaman
- Daerah sekitar Gunung Sago dan Gunung Singgalang
- Daerah sekitar Gunung Talang dan Gunung Kerinci
- Daerah Pariangan Padang Panjang dan sekitarnya
- Daerah di Pesisir Selatan hingga Muko-Muko
- Daerah Jambi sebelah barat
- Daerah yang berbatasan dengan Jambi
- Daerah sekitar Indragiri Hulu hingga Gunung Sahilan, Kampar
- Daerah sekitar Gunung Sailan dan Singingi
- Daerah hingga ke rantau pesisir sebelah timur atau daerah Kabupaten Pelalawan
- Daerah sekitar Danau Singkarak dan Batang Ombilin
- Daerah hingga Samudra Indonesia
- Daerah sepanjang pinggiran Batang Sikilang, Pasaman Barat
- Daerah yang berbatasan dengan Samudra Indonesia
- Daerah sebelah timur Air Bangis (Sungai Beremas)
- Daerah di kawasan Rao dan Mapek Tunggua
- Daerah perbatasan dengan Tapanuli selatan
- Daerah sepanjang pantai barat Sumatra
- Daerah sekitar Silauik dan Lunang
- Daerah hingga Tanjung Simalidu
- Daerah sehiliran Batang Hari
|
Pengaruh kerajaan Pagaruyung melingkupi hampir seluruh
pulau Sumatera seperti yang ditulis William Marsden dalam bukunya
The history of Sumatra (1784).
[26] Beberapa kerajaan lainnya di luar Sumatera juga mengakui kedaulatan Pagaruyung, walaupun bukan dalam hubungan pemberian upeti. Ada sebanyak 62 hingga 75 kerajaan kecil di Nusantara yang menginduk pada Pagaruyung, yang tersebar di
Filipina,
Brunei,
Thailand, dan
Malaysia, serta di
Sumatera,
Nusa Tenggara Timur dan
Nusa Tenggara Barat di Indonesia. Hubungan tersebut dibedakan berdasarkan
gradasi hubungan, yakni
sapiah balahan (garis keturunan perempuan),
kuduang karatan (garis keturunan laki-laki),
kapak radai, serta
timbang pacahan yang merupakan keturunan kerajaan.
[38]
Adityawarman pada awalnya menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yang ada di
Majapahit[16] masa itu, meskipun kemudian menyesuaikannya dengan karakter dan struktur kekuasaan kerajaan sebelumnya (
Dharmasraya dan
Sriwijaya) yang pernah ada pada masyarakat setempat. Ibukota diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh
Datuk setempat.
[39]
Setelah masuknya Islam,
Raja Alam yang berkedudukan di
Pagaruyung melaksanakan tugas pemerintahannya dengan bantuan dua orang pembantu utamanya (wakil raja), yaitu
Raja Adat yang berkedudukan di
Buo, dan
Raja Ibadat yang berkedudukan di
Sumpur Kudus. Bersama-sama mereka bertiga disebut
Rajo Tigo Selo, artinya tiga orang raja yang "bersila" atau bertahta. Raja Adat memutuskan masalah-masalah adat, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah agama. Bila ada masalah yang tidak selesai barulah dibawa ke Raja Pagaruyung. Istilah lainnya yang digunakan untuk mereka dalam
bahasa Minang adalah
tigo tungku sajarangan. Untuk sistem pergantian raja di Minangkabau menggunakan sistem
patrilineal[40] berbeda dengan sistem waris dan kekerabatan
suku yang masih tetap pada sistem
matrilineal.
[16]
Selain kedua raja tadi, Raja Alam juga dibantu oleh para pembesar yang disebut
Basa Ampek Balai, artinya "empat menteri utama". Mereka adalah:
- Bandaro yang berkedudukan di Sungai Tarab.
- Makhudum yang berkedudukan di Sumanik.
- Indomo yang berkedudukan di Suruaso.
- Tuan Gadang yang berkedudukan di Batipuh.
Belakangan, pengaruh
Islam menempatkan
Tuan Kadi yang berkedudukan di
Padang Ganting masuk menjadi
Basa Ampek Balai. Ia mengeser kedudukan Tuan Gadang di Batipuh, dan bertugas menjaga syariah agama.
Sebagai aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-daerah tertentu tempat mereka berhak menagih upeti sekadarnya, yang disebut rantau masing-masing pembesar tersebut. Bandaro memiliki rantau di
Bandar X, rantau Tuan Kadi adalah di VII Koto dekat
Sijunjung, Indomo punya rantau di bagian utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di
Semenanjung Melayu, di daerah permukiman orang Minangkabau di sana.
Selain itu dalam menjalankan roda pemerintahan, kerajaan juga mengenal aparat pemerintah yang menjalankan kebijakan dari kerajaan sesuai dengan fungsi masing-masing, yang sebut
Langgam nan Tujuah. Mereka terdiri dari:
- Pamuncak Koto Piliang
- Perdamaian Koto Piliang
- Pasak Kungkuang Koto Piliang
- Harimau Campo Koto Piliang
- Camin Taruih Koto Piliang
- Cumati Koto Piliang
- Gajah Tongga Koto Piliang
Dalam laporannya,
Tomé Pires telah memformulasikan struktur wilayah dari tanah Minangkabau dalam
darek (
land) dan
rantau (
sea/coast),
[15] walaupun untuk beberapa daerah pantai timur Sumatera seperti
Jambi dan
Palembang disebutkan telah dipimpin oleh seorang
patih yang ditunjuk dari
Jawa.
Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500
nagari, yang merupakan satuan wilayah otonom pemerintahan. Nagari-nagari ini merupakan dasar kerajaan, dan mempunyai kewenangan yang luas dalam memerintah. Suatu nagari mempunyai kekayaannya sendiri dan memiliki pengadilan adatnya sendiri. Beberapa buah nagari kadang-kadang membentuk persekutuan. Misalnya
Bandar X adalah persekutuan sepuluh nagari di selatan
Padang. Kepala persekutuan ini diambil dari kaum
penghulu, dan sering diberi gelar
raja. Raja kecil ini bertindak sebagai wakil Raja Pagaruyung.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu
Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.
[16]
| Luhak nan Tigo |
| Luhak Tanah Data | Luhak Agam | Luhak Limopuluah |
| Alam Surambi Sungai Pagu | Ampek-Ampek Angkek | Hulu |
| Batipuah Sapuluah Koto | Lawang nan Tigo Balai | Lareh |
| Kubuang Tigobaleh | Nagari-nagari Danau Maninjau | Luhak |
| Langgam nan Tujuah | | Ranah |
| Limokaum Duobaleh Koto | | Sandi |
| Lintau Sambilan Koto | | |
| Lubuak nan Tigo | | |
| Nilam Payuang Sakaki | | |
| Pariangan Padangpanjang | | |
| Sungai Tarab Salapan Batua | | |
| Talawi Tigo Tumpuak | | |
| Tanjuang nan Tigo | | |
| Sapuluah Koto di Ateh | | |
Di daerah
Darek atau daerah inti Kerajaan Pagaruyung terbagi atas 3
luhak (
Luhak Nan Tigo, yaitu Luhak
Tak nan Data, belakangan menjadi
Luhak Tanah Data,
Luhak Agam dan
Luhak Limopuluah). Sementara pada setiap nagari pada kawasan luhak ini diperintah oleh para penghulu, yang mengepalai masing-masing suku yang berdiam dalam nagari tersebut.
Penghuludipilih oleh anggota suku, dan warga
nagari untuk memimpin dan mengendalikan pemerintahan nagari tersebut. Keputusan pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu di
Balai Adat, setelah dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah inti Kerajaan Pagaruyung,
Raja Pagaruyung tetap dihormati walau hanya bertindak sebagai penengah dan penentu batas wilayah.
Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah
Rantau. Ia boleh membuat peraturan dan memungut pajak di sana. Rantau merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan
Rantau nan duo terbagi atas
Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan
Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).
Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Penduduk Tanah Datar merantau ke arah barat dan tenggara, penduduk Agam merantau ke arah utara dan barat, sedangkan penduduk Limopuluah merantau ke daerah Riau daratan sekarang, yaitu Rantau Kampar, Rokan dan Kuantan. Selain itu, terdapat daerah perbatasan wilayah luhak dan rantau yang disebut sebagai
Ujuang Darek Kapalo Rantau. Di daerah rantau seperti di Pasaman, kekuasaan penghulu ini sering berpindah kepada raja-raja kecil, yang memerintah turun temurun. Di
Inderapura, raja mengambil gelar
sultan. Sementara di kawasan lain mengambil gelar
Yang Dipertuan Besar.
Pembagian daerah rantau adalah sebagai berikut:
Rantau Luhak Tanah Data
- Lubuak Ambacang
- Lubuak Jambi
- Gunuang Koto
- Benai
- Pangian
- Basra
- Sitanjua
- Kopa
- Taluak Ingin
- Inuman
- Surantiah
- Taluak Rayo
- Simpang Kulayang
- Aia Molek
- Pasia Ringgik
- Kuantan
- Talang Mamak
- Kualo Enok
Ujuang Darek Kapalo Rantaunya
- Anduriang Kayu Tanam
- Guguak Kapalo Hilalang
- Sicincin
- Toboh Pakandangan
- Duo Kali Sabaleh Anam Lingkuang
- Tujuah Koto (Batu Kalang, Koto Baru, Koto Dalam, Tandikek, Sungai Durian, Sungai Sariak, dan Ampalu)
|
Rantau Luhak Agam
- Tiku Pariaman
- Pasaman Barat
- Pasaman Timur
Ujuang Darek Kapalo Rantaunya
- Palembayan
- Silareh Aia
- Lubuak Basuang
- Kampuang Pinang
- Simpang Ampek
- Sungai Garinggiang
- Lubuak Bawan
- Tigo Koto
- Garagahan
- Manggopoh
|
Rantau Luhak Limopuluah
- Mangilang
- Tanjuang Balik
- Pangkalan
- Koto Alam
- Gunuang Malintang
- Muaro Paiti
- Rantau Barangin
- Rokan (Rambah, Tambusai, Kepenuhan, Kunto Darussalam, Rokan Ampek Koto)
- Gunuang Sailan
- Kuntu
- Lipek Kain
- Ludai
- Ujuang Bukik
- Batu Sanggan
- Tigo Baleh Koto Kampar
- Sibiruang
- Gunuang Malelo
- Tabiang
- Tanjuang
- Gunuang Bungsu
- Muaro Takuih
- Pangkai
- Binamang
- Tanjuang Abai
- Pulau Gadang
- Baluang Koto Sitangkai
- Tigo Baleh
- Lubuak Aguang
- Limo Koto Kampar (Kuok, Bangkinang, Salo, Rumbio, Aia Tirih)
- Taratak Buluah
- Pangkalan Indawang
- Pangkalan Kapeh
- Pangkalan Sarai
- Koto Laweh
|
Sementara kawasan
Rantau Pasisia Panjang atau
Banda Sapuluah (Bandar Sepuluh) dipimpin oleh
Rajo nan Ampek (4 orang yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai). Kawasan ini merupakan semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari (negeri), yang masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu. Nagari-nagari tersebut adalah
Nagari-nagari ini kemudian dikenal sebagai bagian dari
Kerajaan Inderapura, termasuk daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai nagari
Ampek Baleh Koto), dan Muko-muko (
Limo Koto).
Selain ketiga daerah-daerah rantau tadi, terdapat suatu daerah rantau yang terletak di wilayah
Semenanjung Malaya (
Malaysia sekarang). Beberapa kawasan rantau tersebut menjadi nagari, kemudian masyarakatnya membentuk
konfederasi (semacam
Luhak), dan pada masa awal meminta dikirimkan
raja sebagai pemimpin atau pemersatu mereka kepada
Yang Dipertuan Pagaruyung, kawasan tersebut dikenal sebagai
Negeri Sembilan, nagari-nagari tersebut adalah
- Jelai
- Jelebu
- Johol
- Klang
- Naning
- Pasir Besar
- Rembau
- Segamat
- Sungai Ujong
- ^ Anonim. 1822. Malayan Miscellanies, Vol II: The Geneology of Rajah of Pulo Percha. Printed And Published at Sumatra Mission Press. Bencoolen
- ^ a b c d e f Amran, Rusli (1981). Sumatera Barat hingga Plakat Panjang. Penerbit Sinar Harapan.
- ^ Lihat: Cap mohor Bagagarsyah dari Pagaruyung
- ^ a b Stuers, H.J.J.L.; Veth, P.J. (1849). De vestiging en uitbreiding der Nederlanders ter westkust van Sumatra. P.N. van Kampen.
- ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 978-90-04-04172-1.
- ^ a b Casparis, J.G. (1989). "Peranan Adityawarman Putera Melayu di Asia Tenggara".Tamadun Melayu 3: 918–943.
- ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
- ^ Berg, C.C., (1985), Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara
- ^ a b Casparis, J.G. (1990). "An ancient garden in West Sumatra". Kalpataru (9): 40–49.
- ^ a b Kozok, U. (2006). Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-603-6.
- ^ a b c Muljana, S. (2005). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. ISBN 979-98451-16-3.
- ^ Mahāwitthayālai Sinlapākō̜n; Phāk Wichā Phāsā Tawanʻō̜k (2003). Sanskrit in Southeast Asia. Sanskrit Studies Centre, Silpakorn University. ISBN 974-641-045-8.
- ^ Suleiman, S. (1977). The archaeology and history of West Sumatra. Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional, Departemen P & K.
- ^ Poesponegoro, M.D.; Notosusanto, N. (1992). Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuno. Jakarta: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-408-X.
- ^ a b c Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols.
- ^ a b c d Batuah, A. Dt. & Madjoindo, A. Dt., (1959), Tambo Minangkabau dan Adatnya, Jakarta: Balai Pustaka.
- ^ a b Kepper, G., (1900), Wapenfeiten van het Nederlands Indische Leger; 1816-1900, M.M. Cuvee, Den Haag.
- ^ Kathirithamby-Wells, J., (1969), Achehnese Control over West Sumatra up to the Treaty of Painan of 1663, JSEAH 10, 3:453-479.
- ^ Basel, J.L., (1847), Begin en Voortgang van onzen Handel en Voortgang op Westkust, TNI 9, 2:1-95.
- ^ NA, VOC 1277, Mission to Pagaruyung, fols. 1027r-v
- ^ a b c d e Dobbin, C.E. (1983). Islamic revivalism in a changing peasant economy: central Sumatra, 1784-1847. Curzon Press. ISBN 0-7007-0155-9. Kesalahan pengutipan: Invalid
<ref> tag; name "Dobbin" defined multiple times